Liputanborneo.com, Tenggarong – Di tengah bayang-bayang pembangunan besar dan ancaman deforestasi yang terus menggerus paru-paru Kalimantan, berdiri sebuah monumen sunyi yang menyuarakan jeritan hutan: Museum Kayu Tuah Himba. Terletak di kawasan Waduk Panji Sukarame, Tenggarong, Kutai Kartanegara, museum ini bukan hanya etalase kayu, tetapi wasiat dari hutan yang semakin menyusut.
Sejak diresmikan pada 25 September 1996, bertepatan dengan Hari Jadi ke-214 Kota Tenggarong, museum ini telah menjadi pusat edukasi, konservasi, dan pelestarian. Namanya sendiri mengandung makna filosofis: “Tuah” berarti sakti atau keberkahan, dan “Himba” berarti hutan dalam bahasa Kutai. Maka, Museum Kayu Tuah Himba dapat dimaknai sebagai tempat menyimpan berkah hutan.
Menurut Samiudin, pengelola museum, keberadaan tempat ini lahir dari keprihatinan atas kerusakan masif hutan Kalimantan pada dekade 1990-an.
“Satu pohon dapat membuat jutaan batang korek api, tapi satu batang korek api dapat membakar jutaan pohon,” ujar Samiudin, mengutip pepatah yang terpampang di salah satu sudut museum, sebuah pengingat yang terus digaungkan.
Museum ini menyimpan sekitar 855 koleksi, termasuk 305 jenis kayu, 250 jenis herbarium, 105 jenis arboritum, serta 50 jenis rotan. Tak hanya bahan mentah, juga dipamerkan 35 jenis olahan kayu, 17 alat musik, 12 alat tangkap ikan tradisional, dan 12 peralatan dapur khas masyarakat lokal.
Salah satu koleksi paling menyita perhatian adalah buaya Sangatta, raksasa sepanjang 6,8 meter dengan berat 850 kg yang ditangkap pada 8 Maret 1996 setelah memangsa seorang wanita bernama Hairani. Buaya berusia sekitar 70 tahun ini kini diawetkan dan menjadi simbol bahwa manusia dan alam harus hidup berdampingan, bukan saling memakan.
Selain itu, museum ini menampilkan kekayaan etnobotani Dayak:
-
Kayu Pasak Bumi (Eurycoma longifolia jack) sebagai tonikum dan obat malaria,
-
Kayu Gading yang dipercaya mampu menolak santet dan ilmu hitam,
-
Kayu Sepang sebagai pewarna alami dan penambah darah,
-
serta Kayu Kernanga Hutan, yang digunakan untuk mengatasi bronkitis hingga kudis.
Pengetahuan lokal ini diwariskan turun-temurun, terutama oleh suku Dayak Apo Kayan dan Dayak Benuaq yang masing-masing mengenal lebih dari 200 jenis kayu berkhasiat.
Rotan pun mendapat tempat istimewa. Kalimantan menjadi habitat terbesar dengan 137 jenis rotan. Etnis Dayak dan Kutai menggunakannya sebagai pengikat bangunan rumah tradisional—dari tiang hingga atap.
Museum ini kini dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kutai Kartanegara, dan terus bertransformasi menjadi pusat pembelajaran dan penyadaran ekologi. Di dalamnya diputar video edukasi, gambar konservasi, dan narasi yang mengajak pengunjung untuk tidak sekadar melihat, tapi juga memahami dan menjaga.
Museum Kayu Tuah Himba adalah peringatan—bahwa hutan adalah jantung kehidupan. Dan jika kita tak menjaganya, kita kehilangan lebih dari sekadar pohon: kita kehilangan identitas dan masa depan. (*)







