Search

Kasat Narkoba Jual Sabu, Sistem Pengawasan Polri Dipertanyakan

Jumat, 11 Juli 2025
Foto : Kapolres Nunukan, AKBP Bonifasius Rumbewas (Tengah) dalam konferensi pers, Sabtu sore (12/7).

Liputanborneo.com, Nunukan – Penangkapan tujuh anggota Polres Nunukan, termasuk Kasat Reserse Narkoba Iptu SH, oleh Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan penyelundupan sabu di Kalimantan Utara kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Kasus ini pun memunculkan sorotan tajam terhadap efektivitas sistem pengawasan internal Polri.

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Eko Hadi Santoso membenarkan penangkapan tersebut. Namun, hingga saat ini belum disampaikan kronologi lengkap atas operasi yang menyeret perwira satuan narkoba bersama tiga anggotanya.

Benar, ada penangkapan itu, ujar Eko, Kamis (10/7/2025).

Pakar kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai kasus semacam ini bukanlah hal baru. Menurutnya, keterlibatan aparat satuan narkoba dalam peredaran narkoba kerap terjadi dan menunjukkan adanya masalah sistemik dalam tubuh kepolisian.

Kasus seperti ini sudah sering terjadi. Pertanyaannya, apakah penangkapan tersebut adalah bukti keberhasilan kontrol dan pengawasan internal Polri, atau justru indikasi lemahnya sistem pengawasan organisasi? kata Bambang, Kamis (10/7/2025).

Ia menekankan bahwa kejadian berulang ini menunjukkan bahwa sanksi etik yang selama ini diterapkan belum mampu memberikan efek jera.

Kenapa kasus ini terus berulang, padahal sanksi terhadap personel yang melanggar sudah dilakukan? Ini menandakan bahwa sanksi etik yang diterapkan tidak memberikan efek jera, tegasnya.

Bambang mendorong agar sanksi terhadap personel Polri yang terlibat tindak pidana, khususnya narkoba, dijatuhkan secara maksimal.

Tidak ada sanksi lain selain pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bagi personel yang terbukti melakukan pelanggaran pidana, apalagi pidana narkoba, ujarnya.

Ia juga mengingatkan tentang dasar hukum yang memungkinkan pemberatan hukuman bagi aparat penegak hukum yang menyalahgunakan jabatannya, yakni Pasal 135 KUHP.

Artinya, aparat penegak hukum harus dihukum lebih berat dibanding masyarakat umum karena mereka melanggar hukum yang seharusnya mereka tegakkan, sambungnya.

Mengenai vonis akhir, Bambang menyerahkan sepenuhnya kepada pengadilan. Apakah nantinya pelaku dijatuhi hukuman maksimal seperti hukuman mati atau penjara seumur hidup, hal itu menjadi wewenang hakim.

Hakim yang akan menilai seberapa besar tindak pidana yang dilakukan dan menentukan putusan akhir, pungkasnya. (*)

BERITA LAINNYA