Liputanborneo.com, Kutai Kartanegara – Sebelum satu nada pun terdengar, di antara gemuruh panggung yang hening, tangan Dwi Musthofa telah bersiap. Ia tak hanya memegang sepasang stik atau menepuk kulit kendang; ia tengah menyelaraskan napas dengan sejarah, menyambung rasa dengan warisan budaya yang hidup dalam setiap pola ritme.
Lahir di Samboja, Kutai Kartanegara, pada 10 Juni 1999, Dwi tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari kemegahan aula konser. Tapi suara-suara dari ember, kaleng, hingga meja kayu menjadi simfoni pertama yang ia pahami. Sejak usia taman kanak-kanak, ketertarikannya pada dunia ritmis muncul alami.
“Waktu itu orang tua saya membelikan kendang ketipung, dan sejak saat itu saya terus bermain. Tidak pernah diajari secara formal. Saya belajar hanya dari mendengarkan dan menonton,” kenangnya, mengingat awal mula perjalanannya.
Berbekal semangat yang otodidak, Dwi memperluas cakrawala musikalnya lewat Kelompok Habsyi Al-Madad sejak SD, hingga akhirnya menapaki jalur akademik di Program Studi Etnomusikologi Universitas Mulawarman, angkatan 2018. Di sana, ia mulai menggali struktur musik secara sadar dan sistematis.
“Saya belajar bagaimana memadukan musik tradisi dengan musik modern secara sadar, tidak sekadar menabrakkan dua genre. Ada tanggung jawab ketika kita menginovasi—memahami pakem, meresapi akar, dan tidak membuang esensi dari tradisi,” tuturnya.
Kini, Dwi menjadi penabuh kendang profesional dengan spektrum luas. Dari wayang kulit, jaranan, hingga band etnik dan panggung pernikahan, perannya melampaui sekadar pengiring. Ia aktif dalam kelompok seperti Nawasena, Evolve, serta pengiring tetap Boyonesia. Ia juga pernah tampil bersama Dwiki Dharmawan, Ita Purnamasari, hingga Divarina Indra.
Namun di balik ketenarannya, Dwi tetap menaruh hati pada ruang kelas dan pembinaan generasi muda. “Itu PR saya. Memberikan akses agar mereka bisa menyalurkan potensi mereka,” katanya.
Bagi Dwi, kendang bukan hanya alat bunyi, tapi denyut dari kebudayaan itu sendiri. “Kendang itu pengatur irama, pengontrol tempo. Dan kendang itu hidup. Main kendang tidak cukup dengan teknik, tapi dengan rasa,” katanya penuh makna.
Baginya, teknologi bukan ancaman, tapi alat. Drum pad, midi controller, dan kendang elektrik adalah bagian dari perkembangan zaman.
“Teknologi bukan musuh. Tinggal bagaimana kita sebagai pemain bisa memanfaatkannya, tanpa kehilangan jati diri alat musik itu sendiri,” ujarnya.
Di akhir kisah, impian Dwi bukanlah ketenaran, melainkan keberlanjutan.
“Impian saya adalah memberikan hal positif dari permainan kendang jaipong, dan bisa menjadi contoh untuk generasi selanjutnya,” pungkasnya.
Dan jika ada pelajaran dari hidup, katanya, “Jangan sibuk menjadi dokter buat orang lain, jika faktanya diri sendiri juga pasien.”