Liputanborneo.com, Samarinda – Setiap tahun, penerimaan peserta didik baru (SPMB) di Kota Samarinda selalu menyisakan kekhawatiran publik: apakah sistem seleksi benar-benar adil atau masih saja menyisakan ruang untuk praktik “titip-menitip” siswa?
Kini, Pemerintah Kota Samarinda menunjukkan keseriusannya menjawab keresahan tersebut. Lewat pembentukan Tim Pengawas Khusus SPMB, yang diluncurkan bersamaan dengan masa pendaftaran, Pemkot ingin memastikan bahwa setiap proses seleksi berlangsung transparan dan tidak lagi dinodai oleh kepentingan pribadi maupun intervensi luar.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menegaskan bahwa kehadiran tim ini bukan sekadar simbolis. Ia menyatakan bahwa pembentukan Tim Pengawas SPMB menjadi langkah konkret untuk menjawab keresahan publik soal permainan kuota dan titipan siswa. Tidak hanya terdiri dari jajaran pemkot, tim ini juga menggandeng unsur aparat penegak hukum (APH), sebagai bentuk penguatan pengawasan lintas sektor.
Tujuan dibentuknya tim ini, sebagaimana ditegaskan oleh Andi Harun, adalah mempersempit ruang gerak oknum nakal yang kerap memanfaatkan celah penerimaan siswa. Dengan pengawasan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas hukum, diharapkan penyimpangan sekecil apa pun bisa dicegah sejak dini.
Dalam pelaksanaannya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Samarinda menjadi pihak teknis yang paling aktif memantau praktik di lapangan. Kepala Disdikbud, Asli Nuryadin, secara gamblang memaparkan salah satu modus kecurangan yang kerap ditemukan di lapangan.
Menurutnya, ada sekolah yang daya tampungnya seharusnya 32 murid per kelas, tapi diinput hanya 28. Nah, sisanya nanti jadi celah titipan. Modus ini menciptakan ruang kosong yang tidak terdeteksi oleh sistem jika tidak diawasi secara aktif. Maka dari itu, tahun ini pihaknya secara resmi menginstruksikan kepada seluruh sekolah untuk mencantumkan jumlah kuota sesuai dengan kapasitas maksimum yang dimiliki.
“Kami minta sekolah pasang (kuota) maksimal, bukan minimal. Kalau muridnya kurang nggak apa-apa. Bisa mendapat limpahan dari sekolah lain. Tapi kalau kelebihan dari kuota, itu tidak boleh,” ujar Asli.
Instruksi tersebut dirancang untuk menghilangkan ruang manipulasi data. Menurut Asli, jika sekolah menginput kuota minimal, maka akan terbuka peluang bagi oknum untuk “menyisipkan” nama tambahan di luar jalur resmi. Sebaliknya, jika sekolah mencantumkan kuota maksimal, maka sistem seleksi berjalan sesuai jalur murni.
Namun begitu, Asli mengakui bahwa tidak semua kasus bisa disamaratakan. Ia menjelaskan bahwa ada sejumlah kasus yang perlu kebijakan, misalnya perpindahan domisili karena alasan mendesak. Salah satu contohnya adalah warga yang tergusur akibat proyek pengendalian banjir seperti normalisasi sungai Karang Mumus (SKM). Warga tersebut diharuskan pindah domisili, meski belum genap satu tahun.
“Itu masih bisa ditoleransi, selama tidak ada indikasi dibuat-buat,” terangnya.
Meski ancaman kecurangan masih membayangi, pelaksanaan SPMB tahun ini disebut relatif lancar. Menjelang penutupan jalur domisili pada Sabtu (21/6), belum ada laporan serius yang menunjukkan adanya pelanggaran.
Bahkan, Asli menyebut bahwa sekolah-sekolah terlihat sangat berhati-hati. Ketika tim pengawas melakukan uji coba ‘memancing’ untuk melihat apakah ada celah yang dimanfaatkan, ternyata tidak ada satu pun sekolah yang berani melanggar.
“Sekolah juga kelihatan hati-hati. Bahkan ketika kami uji coba ‘memancing’. Nyatanya tidak ada yang berani melanggar,” ungkapnya.
Dengan sistem yang semakin diperketat dan pengawasan yang lebih luas, Pemkot Samarinda berharap ke depan proses SPMB dapat berjalan lebih sehat dan transparan. Di atas segalanya, anak-anak tidak boleh sampai tidak mendapat sekolah hanya karena tidak punya ‘jalur khusus’. (*)