Liputanborneo.com, SAMARINDA – Keluhan dari orang tua siswa baru SMAN 10 Samarinda kembali mencuat, kali ini terkait kewajiban pembayaran kain dan ongkos jahit seragam sekolah yang mencapai jutaan rupiah. Berdasarkan informasi yang dihimpun, total biaya yang dibebankan mencapai lebih dari Rp2,5 juta, termasuk Rp1,4 juta untuk kain dan Rp1.050.000 untuk ongkos jahit.
Seragam yang dimaksud meliputi baju pramuka, pakaian dinas harian (PDH), baju Ta’wo, dan rok putih. Meski pembayaran telah dilakukan, sebagian orang tua siswa mengaku belum menerima semua kain seragam.
Plh Kepala SMAN 10 Samarinda, Fannanah Firdausi, menyatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan peninggalan dari manajemen sekolah sebelumnya.
“Informasi dari ketua koperasi dan pengawas koperasi SMAN 10, memang ada beberapa nama yang disebutkan terlibat dalam pengadaan kain dan penyediaan penjahit saat daftar ulang siswa baru,” ucapnya.
Ketua Koperasi SMAN 10, Suyanto, membenarkan bahwa sekolah hanya berperan memberikan informasi lokasi pengambilan kain, yakni di sebuah tempat penjahit di Jalan Azis Samad.
“Saat ini pihak sekolah terus berkoordinasi dan mendorong pihak penjahit agar pesanan kain segera diselesaikan, sehingga para siswa bisa segera mengenakan seragam mereka,” ujar Suyanto.
Pengamat hukum dan akademisi Unmul, Herdiansyah Hamzah, menyebut bahwa jika dugaan pungutan ini terbukti, maka harus ada sanksi tegas. “Pada dasarnya harus ditindak tegas, kalau kemudian hal semacam itu dibiarkan dan tanpa diberikan sanksi sama sekali pasti tidak akan ada efek jera,” tegasnya. Ia bahkan menyatakan bahwa praktik semacam ini bisa masuk kategori pemerasan.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, juga angkat suara. Ia menegaskan bahwa praktik penjualan seragam oleh sekolah bertentangan dengan peraturan.
“Kami ingin penyelesaian dilakukan secara transparan. Jika ada orang tua yang sudah membayar namun belum menerima barang atau tidak ada kejelasan, maka uang tersebut harus dikembalikan,” jelasnya.
Darlis meminta sekolah segera menuntaskan permasalahan tersebut dan mengimbau agar wali murid tidak mentransfer dana ke rekening pribadi. DPRD Kaltim sendiri berencana berkoordinasi dengan Disdikbud Kaltim untuk meminta klarifikasi lebih lanjut dari pihak sekolah.
Sementara itu, Darlis berharap masalah ini dapat diselesaikan secara internal agar tidak mencoreng nama baik sekolah, terlebih saat rencana pembangunan boarding school untuk SMAN 10 sedang disusun. Jika tidak ada tindakan konkret, DPRD siap mengambil langkah tegas.
Polemik ini kembali menyoroti pentingnya pengawasan terhadap segala bentuk pungutan di lingkungan sekolah. Kasus ini menjadi pengingat bahwa asas transparansi dan akuntabilitas harus diutamakan dalam dunia pendidikan.