Liputanborneo.com, Samarinda – Pembangunan Perumahan Bukit Mediterania di Kota Samarinda kembali disorot setelah warga sekitar mengeluhkan dampak serius yang muncul saat musim hujan. Tidak hanya genangan air, tetapi juga tanah dan pasir yang terbawa arus hujan mengalir deras ke pemukiman di bawah kawasan perbukitan.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar, menilai kejadian seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika pengembang mematuhi seluruh regulasi, khususnya mengenai pembangunan kolam retensi.
“Terkait hal ini, kami di DPRD sebenarnya sudah sering mengingatkan bahwa setiap perumahan wajib menyediakan kolam retensi,” tegasnya.
Ia menjelaskan, keberadaan kolam retensi adalah syarat mutlak dalam pembukaan kawasan perumahan baru. Fungsinya penting untuk menahan dan mengelola debit air hujan agar tidak langsung mengalir ke wilayah permukiman.
Deni juga mengungkapkan bahwa persoalan banjir di Samarinda sebagian besar bersumber dari pembukaan lahan besar-besaran yang tidak dibarengi dengan sistem drainase dan perencanaan wilayah yang matang.
“Kami pernah menyampaikan catatan penting kepada dinas PUPR, bahwa salah satu penyebab banjir di Samarinda adalah pembukaan lahan besar-besaran untuk pemukiman,” ujarnya.
Terkait Perumahan Bukit Mediterania, Deni mengungkapkan bahwa masalah yang sama sudah terjadi berulang kali hingga empat kali. Ia mempertanyakan keseriusan pengembang dalam memenuhi kewajiban teknis, termasuk alokasi 20 persen lahan untuk kolam retensi dan ruang terbuka hijau.
“Seharusnya 20 persen dari luas lahan diperuntukkan untuk kolam retensi dan ruang terbuka hijau. Apakah benar ini sudah diverifikasi oleh dinas teknis terkait?” imbuhnya.
Lebih lanjut, Deni menyoroti kondisi geografis Samarinda yang berbukit. Ia menekankan bahwa pembangunan di dataran tinggi harus disertai sistem pengendalian air yang terencana. Tanpa itu, air hujan akan langsung turun ke bawah dan menyebabkan kerusakan.
“Kalau tidak ada saluran drainase yang layak, air tetap akan turun dan merusak. Prinsipnya bukan menahan air, tapi mengarahkan ke tempat pembuangan yang tepat, seperti ke Sungai Mahakam.” ujarnya.
Ia memastikan DPRD akan terus mengawasi sejauh mana pengembang menindaklanjuti rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup, BPBD, dan Dinas Perkim. Peringatan juga berlaku bagi proyek-proyek serupa di masa depan.
“Kolam retensi itu wajib, bahkan untuk kawasan pergudangan. Samarinda ini kota berbukit. Kalau bangunan berdiri di atas, kawasan di bawah pasti terdampak kalau sistem pengendalian airnya tidak memadai,” pungkasnya.
DPRD Samarinda menegaskan komitmennya untuk mencegah terulangnya kasus serupa di proyek perumahan lain. Mereka mendesak pemerintah dan dinas teknis agar memperketat pengawasan sejak tahap perencanaan agar keselamatan warga tetap menjadi prioritas utama. (*)