Liputanborneo.com, SAMARINDA – Persoalan biaya perlengkapan siswa baru kembali mencuat di SMP Negeri 8 Samarinda Seberang menjelang Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Meskipun biaya buku penunjang telah ditanggung melalui APBD Kota Samarinda, banyak laporan dari masyarakat menunjukkan bahwa biaya tambahan untuk perlengkapan sekolah masih memberatkan. Salah satu aduan berasal dari orang tua siswa, yang mengungkapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp1,3 juta.
Indikasi pengadaan seragam dan perlengkapan lainnya mencuat karena pihak koperasi sekolah menyodorkan sejumlah biaya tambahan sebagai kewajiban yang harus segera dibayar. Di antara biaya itu, terdapat biaya tes psikologi yang tertera dalam brosur sekolah.
“Ini saya baru tahu ada tes psikologi di dalam brosur sampai Rp150 ribu,” ujarnya.
Orang tua siswa tersebut mengaku meskipun beban biaya tinggi, mereka tidak ingin mempermasalahkan hal tersebut karena dianggap sebagai kewajiban yang harus ditanggung setiap tahun ajaran baru. Namun, keresahan tentang biaya ekstra ini sampai ke telinga Wali Kota Samarinda, Andi Harun, yang segera menindaklanjuti dengan mendatangi sekolah.
Setelah melakukan konfirmasi dengan pihak sekolah, Andi Harun meminta evaluasi menyeluruh terhadap pengadaan perlengkapan sekolah yang memberatkan orang tua, terutama terkait dengan dugaan mekanisme harga di koperasi. Ia menegaskan pentingnya agar tidak hanya menyalahkan pihak sekolah, tetapi juga memastikan bahwa beban tidak sepenuhnya ditanggung oleh orang tua.
“Kami ingin semua pembenahan ini tidak menyalahkan pihak sekolah begitu saja, tapi juga tidak membiarkan beban ditanggung orangtua,” tegas Andi Harun, Rabu (16/7/2025).
Pemkot Samarinda berencana menerbitkan aturan resmi yang mengatur mekanisme pengadaan seragam dan atribut sekolah, termasuk batasan harga koperasi, karena mereka meyakini bahwa seragam dan atribut sekolah tidak boleh diwajibkan untuk dibeli hanya melalui koperasi.
“Masyarakat harus diberi pilihan. Tapi simbol seperti logo atau papan nama memang harus ada dan disiapkan sekolah,” jelas Andi Harun.
Andi Harun juga menyoroti keuntungan koperasi sekolah yang tidak boleh berlebihan. Ia memperingatkan, jika ada pihak yang meraup keuntungan pribadi dari koperasi, akan segera diambil tindakan tegas.
“Koperasi boleh ambil untung, tapi jangan sampai dilipatgandakan sehingga muncul persepsi negatif dari masyarakat,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP 8 Samarinda Seberang, Satuna, membantah telah dimulainya penjualan seragam. Saat ini, pihak sekolah masih menjalankan MPLS dan menunggu instruksi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Samarinda.
“Sampai sekarang belum ada instruksi dari dinas, jadi kami menunggu,” ujarnya.
Terkait dengan tes psikologi, Satuna menjelaskan bahwa inisiatif tersebut diteruskan dari tahun sebelumnya, di mana tes dilakukan oleh tim profesional dari lembaga psikologi yang berkantor di Samarinda. Tes tersebut meliputi evaluasi minat, IQ, serta pola belajar siswa dan hasilnya akan disampaikan ke orang tua dan guru untuk menjadi acuan pendampingan.
“Setiap kelas dites langsung oleh tim. Dari pagi sampai hampir jam 12 siang, tanpa jeda panjang agar hasilnya akurat. Anak-anak bahkan diminta membawa air minum agar tidak terganggu saat tes berlangsung,” jelasnya.
Tes ini memberikan informasi tentang siapa siswa yang “slow burner” atau lebih lambat dalam memproses pembelajaran, sehingga guru dapat memberikan pendekatan yang tepat.
“Kita bisa tahu siapa siswa yang ‘slow burner’, anak yang mungkin lebih lambat memproses, tapi bukan berarti tidak mampu. Jadi, guru punya acuan untuk memperlakukan siswa secara tepat di dalam kelas,” imbuhnya.
Jumlah siswa baru di SMP 8 tahun ini tercatat mencapai 374 orang dari total 1.083 siswa aktif. Mayoritas siswa tersebut menjadi sasaran pengadaan perlengkapan sekolah, termasuk seragam dan atribut, yang saat ini dinilai harganya cenderung lebih tinggi dibanding pasaran. Saat ditanya mengenai harga di koperasi, Satuna memilih untuk tidak memberikan tanggapan lebih lanjut.
“Itu saya skip dulu. Koperasi bukan di bawah wewenang saya. Saya hanya menangani kurikulum dan pembelajaran. Koperasi memang ada di lingkungan sekolah, tapi operasionalnya bukan tanggung jawab kami,” pungkasnya.
Paragraf penutup:
Dengan adanya evaluasi menyeluruh yang segera dilakukan oleh pihak pemkot, diharapkan regulasi baru tentang pengadaan seragam dan atribut sekolah dapat memberikan kepastian dan meringankan beban orang tua siswa. Upaya ini merupakan bagian dari komitmen berkelanjutan pemerintah untuk menjamin hak pendidikan yang adil dan transparan.