Liputanborneo.com, SAMARINDA – Kasus dugaan korupsi di Perusahaan Daerah Pertambangan Bara Kaltim Sejahtera (BKS) terus bergulir. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur kembali menetapkan satu tersangka baru, yakni Direktur Utama PT RPB, SR, yang telah menjabat sejak 2010.
SR menjadi tersangka ketiga dalam kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp21.202.001.888 pada periode 2017 hingga 2020. Penetapan ini dilakukan setelah tim penyidik memperoleh dua alat bukti yang cukup.
Toni Yuswanto, selaku Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, menjelaskan bahwa langkah penetapan SR sebagai tersangka merupakan hasil kerja penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus yang telah mengumpulkan bukti-bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
“Penetapan tersangka dilakukan oleh tim Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Kaltim setelah memperoleh sedikitnya dua alat bukti yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP,” tegasnya.
Kasus ini sudah menyeret dua nama lainnya sebelum SR. IGS, yang pernah menduduki kursi Direktur Utama Perusda BKS dari 2016 hingga 2020, terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Januari 2025 melalui Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-01/O.4.5/Fd.1/01/2025.
Menyusul kemudian, NJ, Kuasa Direktur CV ALG, juga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Nomor TAP-02/O.4.5/Fd.1/02/2025 pada 4 Februari 2025. Dengan demikian, SR melengkapi daftar tersangka dalam kasus ini.
Setelah penetapan status tersangka, SR langsung ditahan oleh tim penyidik selama 20 hari ke depan. Toni menyatakan bahwa penahanan dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, dengan mempertimbangkan beberapa faktor penting, termasuk ancaman hukuman minimal lima tahun penjara.
Selain itu, risiko tersangka untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana menjadi alasan kuat untuk melakukan penahanan. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) huruf a KUHAP.
Perusda BKS, sebagai BUMD milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, telah berdiri sejak tahun 2000. Dalam kurun waktu 2017 hingga 2019, BKS menjalin kerja sama jual beli batubara dengan lima perusahaan swasta, dengan total nilai transaksi mencapai Rp25,88 miliar.
Namun, pelaksanaan kerja sama tersebut dinilai melanggar prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tidak adanya persetujuan dari badan pengawas dan Gubernur Kalimantan Timur sebagai Kuasa Pemegang Modal (KPM), serta absennya dokumen penting seperti proposal, studi kelayakan, rencana bisnis pihak ketiga, dan manajemen risiko, menjadi indikasi kuat adanya penyimpangan.
Kejati Kaltim menegaskan bahwa kerja sama ini berujung pada kegagalan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp21,2 miliar. Angka kerugian ini diperoleh berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.
“Kerja sama tersebut gagal dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp21,2 miliar, sebagaimana hasil perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur,” kata Toni.
Dalam proses hukum ini, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juga digunakan untuk menjerat para tersangka, termasuk SR, dengan ancaman hukuman yang tidak ringan. (*)
Penulis : Rachaddian (dion)