Search

Tegaskan Perbedaan dengan Oplosan, Komisi XII: Blending Itu Wajar, Oplosan Itu Ilegal

Jumat, 28 Februari 2025
Foto: Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi.
Foto: Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi.

Liputanborneo.com, JAKARTA – Polemik terkait dugaan oplosan Pertamax di SPBU Pertamina mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, yang menegaskan bahwa skema blending dalam industri BBM diperbolehkan selama tetap menjaga kualitas.

Bambang menjelaskan bahwa blending adalah praktik sah dalam industri energi, termasuk dalam sektor batu bara dan bahan bakar minyak (BBM). Ia menegaskan bahwa masyarakat perlu memahami perbedaan antara blending yang legal dan praktik oplosan yang menyalahi aturan.

“Nah, ini yang harus digarisbawahi, enggak ada itu skema oplosan. Jadi, di dalam (industri) minerba adanya skema blending. Itu sah-sah saja selama tidak menurunkan kualitas,” ujar Bambang, usai melakukan inspeksi mendadak (sidak) di SPBU di wilayah perbatasan Depok dan Jakarta Timur, Kamis (27/2/2025).

Ia mencontohkan skema blending dalam industri batu bara, di mana perusahaan tambang diperbolehkan mencampur batu bara dengan nilai kalor lebih tinggi dan lebih rendah untuk mencapai spesifikasi tertentu sesuai regulasi yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Misalnya, batu bara dengan GAR 5.000 dicampur dengan yang 4.000 supaya menjadi 4.500, itu bisa diblending. Aturan pemerintah membolehkan,” katanya.

Bambang menegaskan bahwa istilah “oplosan” lebih identik dengan pencampuran ilegal yang menurunkan kualitas BBM. Ia menjelaskan bahwa praktik seperti mencampur bensin dengan minyak tanah atau cairan lain yang mengubah spesifikasi bahan bakar adalah tindakan yang melanggar aturan.

“Oplosan itu kalau misalnya bensin dicampur minyak tanah, atau cairan lain yang mengubah kualitas, itu baru namanya oplosan,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa semua jenis BBM memang melalui proses blending, baik di tahap produksi maupun di kilang minyak, untuk memastikan nilai oktan atau Research Octane Number (RON) sesuai standar.

“Semua jenis bensin pasti di-blending, baik di teknik produksi maupun di kilang pun akan di-blending. Kan kita ada beberapa jenis RON, ada 90, 92, 95, dan 98. Itu standar spesifikasi dunia,” ungkapnya.

Bambang juga menyinggung bahwa RON 90 merupakan jenis bahan bakar yang hanya tersedia di Indonesia, sementara di banyak negara lain, standar oktan biasanya dimulai dari RON 92.

“Sebenarnya, standar RON itu dimulai dari 92. Bahkan di era dulu kita punya RON 88. Jadi, RON 90 ini memang dibuat khusus untuk Indonesia. Negara lain itu jarang menggunakan RON 90,” jelasnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Dalam penyelidikan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite dengan harga lebih murah, kemudian melakukan blending untuk meningkatkan nilai oktan menjadi setara Pertamax, tetapi tetap menjualnya dengan harga Pertamax sejak awal.

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi RON 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).

“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” tegas keterangan itu. (*)

Sumber :
https://nasional.kompas.com/read/2025/02/27/12140311/komisi-xii-skema-blending-bbm-diperbolehkan-selama-tak-turunkan-kualitas

Penulis : Rachaddian (dion)

BERITA LAINNYA